» » Masyarakat Anggap Politik Uang Hal Wajar

(SJO, JAKARTA) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan adanya fenomena menarik dalam Pemilu 2014. Berdasarkan hasil survei lembaga itu, sebanyak 71,72 persen publik menganggap politik uang itu lazim.

Hasil survei KPK juga mengatakan sebanyak 22,38 persen publik memilih calon pemimpin dari ukuran perilaku dan karakter mereka. Yang kedua, 16,48 persen dari ukuran kemampuan caleg, dan ketiga, 13,93 persen karena hubungan kedekatan. Sedangkan, faktor rekam jejak para calon hanya sebesar 6,64 persen.

Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menjelaskan, dari hasil survei terlihat persepsi masyarakat di 10 kota besar di Indonesia terkait politik uang. Misalnya di Medan, 88 persen publik menilai politik uang sebagai hal lazim. Persentase lebih dari 80 persen juga ada di beberapa kota besar lain.

Seperti di Jakarta (84,89 persen) dan Ambon (86,67). Kemudian di Palembang (70,10), Bandung (66,87), Surabaya (77,02), Denpasar (55,25), Mataram (44,29), Makassar (64) dan Samarinda (29,23).

Praktisi antikorupsi Taufik Basari mengakui bahwa praktek-praktek politik uang selama pemilu sangat mudah ditemui di masyarakat. “Sangat banyak sekali kasus praktek politik uang di masyarakat, ini sangat parah dan mengerikan. Untuk menghindari ini harus ada perlawanan bersama dari masyarakat, karena politik uang ini sangat merusak perjalanan demokrasi kita,” ujar pendiri Gerakan Masyarakat Anti Korupsi dan Pungli ini, Jumat (21/3)

Taufik menambahkan, dalam memberantas praktek politik uang banyak eleman yang harus dilibatkan antara lain masyarakat, media dan pemerintah sendiri. “Eleman lain yang juga harus terlibat adalah partai politik. Jika perlawanann dilakukan secara bersamaan maka tidak aka nada anggapan di masyarakat bahwa politik uang adalah lumrah, karena siapapun yang menerima dan melakukan akan malu,” ujarnya.

Praktisi hukum ini menambahkan, disaat kampanye seperti ini masyarakat sesungguhnya sadar bahwa praktek politik uang menjamur. Untuk itu diperlukan kampanye khusus untuk menolak praktek politik uang saat kampanye. “Pelaku dari praktek politik uang adalah musuh demokrasi, jadi harus diberantas,” tegas Taufik.

Kepala Kajian Kemiskinan dan Pembangunan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) Teguh Dartanto, mengatakan politik uang marak terjadi karena masyarakat banyak yang enggan untuk memilih calon anggota legislatif. “Kurangnya kredibilitas caleg juga dipertimbangkan publik. Bagi masyarakat, daripada mereka memilih caleg secara tidak sukarela, lebih baik mereka menerima uang sebagai keuntungan ekonomi sesaat,” ujarnya.

Teguh menambahkan, masyarakat banyak yang berpikir bahwa hak pilih itu merupakan aset. Sehingga daripada hak pilih diberikan secara cuma-cuma, maka mereka pilih untuk menjual hak suaranya. “Cepat atau lambat, dengan meningkatnya pendidikan dan ekonomi, masyarakat juga menyadari politik uang itu tidak baik. Ini adalah proses demokrasi,” tutupnya. (tim)

About Kabar Seputar Jabar

Hi there! I am Hung Duy and I am a true enthusiast in the areas of SEO and web design. In my personal life I spend time on photography, mountain climbing, snorkeling and dirt bike riding.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply