» » » Titik Nadir Sang Jurnalis

SUATU hari, seorang wartawan (tepatnya kontributor) sebuah tv lokal yang menginduk ke grup tv nasional menghadiri konferensi pers di suatu hotel bintang lima di Bandung. Usai acara panitia membagikan amplop dan mempersilakan undangan menuju tempat bersantap.

Sebagian wartawan menerima amplop itu, sebagian lain tak menerima, dan memilih langsung mengantri di tempat prasmanan. Ada juga beberapa wartawan yang tak mengambil amplop, juga tidak mengerumun ke tempat makan,  tetapi menjauh ke tempat lain lalu membuka laptop, menulis berita, dan mengirimkannya via email.

Sang kontributor tv lokal menuju tempat bersantap sambil mengantongi amplop yang baru diterimanya. Di tempat prasmanan Ia berbisik kepada petugas yang melayani. Si petugas ngeloyor, tak lama kemudian kembali dengan menenteng kotak tempat nasi, lalu diberikan ke Wartawan yang tadi membisikinya.

Sang kontributor pulang membawa oleh-oleh nasi kotak. Baru sampai di rumah hp-nya berdering, telepon dari Koordinator Liputan di kantornya menanyakan hasil liputan. Segera Ia meng-capture gambar, menulis naskah, dan meng-email-nya ke Redaksi.

Menjelang sore, sang kontributor menyalakan tv, menonton berira yang ditayangkan stasiun tv tempatnya bekerja. Sampai segmen ahir hasil liputannya tak nongol. Meski hasil liputannya tidak tayang, kekecewaannya terobati setelah membuka amplop. Jumlahnya lebih besar dari honor berita yang biasa dia terima.

Kontributor ini sudah hampir lima tahun bekerja di tv lokal. Statusnya karyawan kontrak (lebih tepatnya honorer karena kontark kerjanya tidak selalu diperpanjang tepat waktu setiap tahun). Penghasilan setiap bulan tidak menentu, tergantung jumlah berita hasil liputannya yang tayang. Per berita dibayar Rp.100.000,- kalau tayang di tv lokal, atau Rp.250.000,- kalau tayang di tv nasional.

Walau honor tiap bulan tidak menentu dan jarang mencapai dua jutaan rupiah (karena keterbatasan durasi dan harus bersaing dengan puluhan kontributor rekan sekantor), namun sang kontributor tetap bersyukur karena masih bisa membayar cicilan kamera, laptop dan sepeda motor, serta menyisihkan untuk bayar kontrak rumah. Dari mana ia dapat uang untuk membayar semua cicilan itu, silakan pembaca tebak sendiri.

Kisah lain dilakoni seorang jurnalis --sebut saja Mat Pena--, yang menjadi koresponden wilayah Kabupaten Bandung untuk sebuah tabloid mingguan yang terbit di Jakarta. Jangankan mendapatkan honor baik bulanan maupun per berita, malah dibebani harus memasarkan tabloid sejumlah 50 eksemplar setiap minggu. Untungnya,status Mat Pena sebagai wartawan lebih “dipandang” ketimbang petugas sirkulasi, sehingga harga tabloid yang dibandrol lima ribu perak bisa terjual minimal Rp.20 ribu. Bahkan tabloid yang dibawanya bisa menjadi semacam senjata bernilai ratusan ribu rupiah.

Sebagai koresponden dengan jam terbang lebih dari lima tahun, Mat Pena sudah hapal dan kemana harus memasarkan tabloid tersebut, berbekal informasi yang dia dapat kantor-kantor dinas di lingkungan Kabupaten Bandung/ Biasanya Mat Pena akan gesit turun ke desa-desa yang baru saja mendapat kucuran dana seperti Alokasi Dana Desa (ADD), hibah PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), bantuan gubernur, atau hibah dari kementrian. Atau mendatangi kepala desa yang diberitakan sedang tersangkut masalah.

Dengan pola kerja seperti itu Mat Pena bisa mengumpulkan uang lebih banyak dari pada gaji rekannya yang kerja sebagai wartawan di surat kabar lokal. Meskipun Mat Pena tidak digaji oleh Tabloid tempatnya bekerja.

Dua ilustrasi di atas sekedar contoh masih buruknya sistem pengupahan di banyak perusahaan media. Tak terkecuali media besar yang memiliki ratusan kontributor di sejumlah daerah di Indonesia. Banyak wartawan yang upahnya dibawah UMK tapi getol memberitakan unjuk rasa buruh yang menuntut kenaikan upah.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terbilang getol mengadvokasi agar terbentuk serikat pekeja di perusahaan media. Hasilnya belum menggembirkan. Tak mudah membentuk serikat pekerja di perusahaan media. Selain minim apresiasi dari manajemen, juga karena masih kurangnya kesadaran para wartawan kalau mereka itu juga adalah buruh yang butuh perlindungan untuk peningkatan kesejahteraan. Entah karena dapat cari sampingan lebih besar dari gaji, sehingga tak terlalu peduli dengan keberadaan serikat pekerja.

Saat dengar pendapat Komisi IX DPR dengan sejumlah organisasi wartawan pertengahan tahun silam, terungkap lemahnya posisi wartawan sebagai pekerja. Selain berupah tidak layak, juga kerap tidak berdaya saat diintervensi oleh pemilik media.

Ketika itu, Ketua AJI Eko Maryadi mengungkapkan  tiga masalah besar yang dihadapi wartawan di Indonesia, yakni rendahnya kesejahteraan, jaminan berserikat, dan jaminan keselamatan saat menjalankan tugas.

Menurut Eko, hanya sekitar 30%-40% wartawan Indonesia yang menerima gaji layak. Artinya 60%-70% wartawan Indonesia lainnya  tidak mendapat kesejahteraan yang layak. Kesejahteraan jurnalis kian tahun tak mengalami perkembangan signifikan. Meskipun upah minimum kota telah beranjak naik, toh tak semua perusahaan media memberikan tambahan penghasilan bagi jurnalis. Saatnya wartawan berani memperjuangkan nasibnya sendiri agar perusahaan tempatnya bekerja mematuhi ketentuan aturan ketenagakerjaan. Kini, tinggal seberapa besar kemauan dan keberanian para wartawan memperjuangkan nasibnya sendiri? (zamsaja)

About Kabar Seputar Jabar

Hi there! I am Hung Duy and I am a true enthusiast in the areas of SEO and web design. In my personal life I spend time on photography, mountain climbing, snorkeling and dirt bike riding.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply